Thursday, September 27, 2012

Kamu Dayak Aku Madura, & Kita Saling Berangkulan


Ini tulisan lama. Baru sekarang sempat saya sunting lagi dan ditayangkan di blog. Ada dua momentum yang membuat saya membuka dokumen-dokumen lama yang sempat saya tulis. Pertama adalah gerakan “Rainbow for Peace – the rainbow is you” yang sangat mengesankan itu (selanjutnya kamu baca di sini) dihelat  oleh komunitas Peace Generation, di mana saya terlibat aktif di dalamnya dan menjadi bagian dari simpul komunitas, Person in Charge (2010-sekarang). Kedua adalah tawuran dan kebrutalan remaja/siswa sekolah yang mengakibatkan korban tewas, Alawy Yusianto Putra dari SMA 6, di Jakarta 25 September 2012. Tawuran itu terjadi antara SMAN 6 dan SMAN 70, yang keduanya berada di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Dari testimoni banyak orang, dua SMA ini memang punya tradisi tawuran dari waktu ke waktu sejak tahun 70-an.

Dalam minggu ini pun saya kembali membuka literatur-literatur tentang kekerasan pemuda dan sekaligus datang ke beberapa teman yang punya konsern ihwal tawuran dan kekerasan ramaja. Salah satunya saya dapatkan channel untuk mengopi film pendek “Teh Mardjono” dari kawan baru berama Luhki, lulusan Fisipol UGM, lalu saya tonton film pendek itu sepuasnya di kamar, sendirian. Nanti akan saya share ke teman-teman komunitas bila sudah ketemu lagi. Film ini murni memotret tentang tawuran dan kekerasan pelajar SMA khususnya.

Nah akumulasi suasana inilah yang kemudian membuat saya mempelajari lagi beberapa hal tentang kekerasan, yang semestinya bisa dikendalikan, setidaknya tidak perlu ada korban berjatuhan terus-menerus, hampir setiap tahun. Karena kekerasan pelajar dan bahkan teman-teman mahasiswa bisa menjadi cerminan dari fenomena kekerasan sosial dalam konteks yang lebih luas, seperti praktik-praktik kekerasan yang diakibatkan oleh frustrasi sosial di kalangan masyarakat sipil di Indonesia.

Untuk itu, tulisan di bawah ini murni cerita personal saya. Saya tulis cerita di bawah ini dalam dua kali, satu minggu sehabis acara Peace Camp, lalu terbengkalai karena ada acara kunjungan ke Australia sebentar, dan dilanjutkan lagi akhir tahun 2011. Ingatan yang terbatas, adalah bagian dari kelemahan merekam kenangan. Mungkin juga terjadi dalam tulisan ini, tapi tulisan ini bukan fiksi, sama sekali! Silahkan teman-teman share cerita berikut ini:
 ##
Minggu ini aku senang sekali. Suatu pengalaman yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya terjadi kepadaku. Rasa capai karena mengurus Peace Camp - Bee Yourself oleh Peace Generation, yang meraton selama 5 hari penuh, sepertinya terobati oleh pengalaman ini. Dari Peace Camp kali ini, aku mempunyai suatu kesan yang sangat spesial di samping sesi-sesi lain yang sungguh hebat (ohya teman-teman yang ingin tahu tentang apa dan bagaimana kegiatan Peace Camp, silahkan cek di website www.peacegeneration.org atau di sini – semua kegiatan komunitas dan Peace Camp ada di situs tersebut).

Pasalnya, ini hari terakhir kegiatan intensif Peace Camp. Hari terakhir—bagi sebagian orang—memang ibarat suatu momentum yang ingin segera diselesaikan dan bagi sebagian yang lain tak ingin melewatinya; hari terakhir bisa menjadi hari yang penuh sesal, kecewa, dan sekaligus bahagia; hari terakhir selalu menyuruk ke dalam wahana melankolia tapi tak jarang menabur nuanasa romantika. Begitulah hari terakhir, satu momentum yang kadang tak ingin dilupakan, seperti juga hari pertama dimana pengalaman baru seseorang dimulai. 

Peace Camp kali ini dihelat selama 5 hari dari tanggal 1-5 Juni 2011 di Omah Jawi Kaliurang. Hari terakhir selalu menjadi hari yang mengesankan karena ia menjadi titik dimana kebersamaan akan berakhir. Sebuah sesi di hari terakhir kali ini dinamai “Bawang Bombay” – ini istilah gokil dan fun aja untuk mendeskripsikan tentang sesi sedih dan haru, atau bahkan ada yang menangis. Karena, kebersamaan selama 5 hari memang mengesankan!

Di sesi ini satu per satu panitia mulai curhat dan share tentang banyak hal, mulai minta maaf bila ada hal-hal apapun yang tidak berkenan hingga curhat tentang keterbukaan teman-teman ihwal identitas masing-masing, dan sharing pengalaman mereka yang wow! Pengisi sesi ini aku bersama Dwina (betul kan Dwin? lalu kami bertiga bersama Ema), awalnya emang krik-krik. Lingkaran manusia di pendopo itu kerasa kering; suasana belum join in. Eventually, satu per satu sharing mulai masuk dan punya taste, peserta akhirnya banyak yang curhat dan menceritakan kenangan kebersamaan mereka selama camp—tentang keberanian bercerita, tentang persahabatan yang hangat, tentang pengalaman yang baru yang mengejutkan, tentang ketakutan-ketakutan yang awalnya disimpan, dan tentang banyak hal! 

Aku pun berputar di tengah lingkaran, menyapa satu per satu peserta mungkin ada yang mau share dan cerita. Sampailah aku pada salah satu peserta yang mau share juga. Namanya Annissa Sintawati. Dengan roman muka yang sembab, oleh linang air mata yang merembes sedikit di pipinya, dia bercerita tentang latar belakangnya. Dia mengaku senang karena punya teman yang welcome dari latar belakang yang berbeda, bukan hanya agama, suku, dan bahasa, tapi juga orientasi seksual. Perlahan Sinta menuturkan dirinya yang berasal dari Kalimantan, dari suku Dayak-Banjar! 

Deg! Jantungku berkesiap. Aku yang sedang berdiri di sampingnya seperti mayat yang kaku. Karena ingatanku tiba-tiba menyuruk begitu jauh ke tengah suasana konflik Dayak-Madura tahun 2000-an, dimana saat itu aku sedang duduk di bangku MTs, sekolah menengah pertama kelas 3, saat-saat remaja transisional yang bisa membenci siapapun, termasuk orang Dayak! Bagaimana aku tidak membenci mereka ketika mendengar Saudara-Saudara satu etnis Madura di Kalimantan dibantai dan, anehnya, yang menambah kebencian terus menggumpal adalah beredarnya video-video yang mempertontonkan bagaimana etnis Madura dijagal dan dipotong kepalanya dengan parang dan entah apalagi nama senjatanya. 

Saat itu, ya saat itu, nama Dayak seperti nama lain dari Drakula! Ya, seperti seonggok serigala yang siap memenggal leherku. Itu adalah sejarah kelam masa lalu yang tersisa, sejarah kebencian yang harus diputus, direkonsiliasi! Dendam dan kebencian separah apapun, aku yakin, bisa diselesaikan dengan cara nirkekerasan!

Kepalaku seperti pusing. Aku kembali fokus kepada teman yang sedang sesegukan sharing di sampingku. Tanpa aku sadari, tanganku menggandeng tangannya dan merangkulnya erat. Mulutku seperti tidak bisa tertahan untuk bercerita, antara sadar dan tidak. Bahwa saat Sinta ada dalam rangkulanku, aku berujar lepas.

“Teman-teman, kamu tahu kan bahwa aku dari suku Madura, dan kamu dengar sendiri kalau Sinta dari suku Dayak? Kita tahu kan bagaimana konflik masa lalu Madura-Dayak itu? Dulu saya merasakan luka itu teramat dalam. Tapi saat ini aku ingin menunjukkan bahwa kebencian itu bukan jalan yang harus kita tempuh. Aku ingin bergandengan tangan dan merangkul kalian semua karena aku ingin mengakhiri sejarah kebencian demi kebencian masa lalu. Kita pemuda di sini, dan kita punya mimpi yang sama untuk masa depan bangsa yang lebih baik, dan harapan itu ada di tangan kita semua….”

Aku merunduk dalam, menyika butiran air mata yang tak terasa berlinang juga.

“Sinta, maafkan aku bila selama acara ini punya kekeliruan, ya. Tetap semangat!”

I hugged her tightly. I saw her eyes as bright as my dream of our future peace on earth.

Sinta, terima kasih kamu sudah bercerita.

Have lovely days wherever you are!

Salam hangat,

Bje

0 comments: