Saturday, July 27, 2013

Ambiguitas Perdamaian Sipil

PEKAN-PEKAN ini, jika Anda berkunjung ke Yogya, Anda akan menemukan suguhan menarik di ruang publik yang layak diperbincangkan lebih serius, yaitu spanduk-spanduk yang bertebaran di ruas-ruas jalan utama ataupun hanya selebaran-selebaran kecil yang disebarkan melalui kertas photo copy seadanya. 


Pesannya bernada sama: “Rakyat Yogya Menolak Premanisme‘ atau “Yogya tanpa Preman‘. Kalimat-kalimat tersebut antara lain: Sejuta Preman Mati, Rakyat Yogya Tidak Rugi, Anda Sopan Kami Hormat, Anda Preman Kami Sikat, dan khusus untuk pelajar, ada pesan begini: Ke Yogya belajarlah yang baik dan jadilah warga yang baik. Yogya Nyaman Tanpa Preman

Di samping spanduk dan selebaran-selebaran tersebut, di Yogya juga banyak aksi yang secara khusus menolak segala bentuk kekerasan dan premanisme, baik yang dilakukan oleh kelompok pemuda ataupun antar-aliansi. Respon yang ditunjukkan rakyat Yogya—jika bisa dikatakan demikian—adalah buntut kasus premanisme yang dalam satu tahun terakhir semakin marak terjadi di Yogya. 

Momentumnya adalah peristiwa pembacokan dan penganiayaan yang menewaskan seorang anggota Komando Pasukan Khusus, Sersan Satu Santoso di Hugo's Cafe, Sleman, Yogyakarta, Selasa (19/3), yang kemudian berlanjut pada eksekusi penembakan “beraroma balas dendam‘ oleh oknum Kopassus di LP Cebongan, Sleman, yang menewaskan para pelaku, yaitu Yohanes Juan Mambait alias Johan, 38 tahun, Gameliel Yermianto Rohi Riwu alias Adi, 29 tahun, Adrianus Candra Galaja alias Dedi, 33 tahun, dan Hendrik Benyamin Sahetapy Engel alias Dicky, 31 tahun. 

Petrus

e pondot dari http://www.jurnas.com
Untuk mencermati sebentuk respon masyarakat Yogya terhadap premanisme, saya ingin kembali menelisik litani sejarah senada, yaitu operasi khusus yang dikenal Penembakan Misterius (Petrus) tahun 1980-an yang bertujuan untuk menertibkan preman di Yogya. Sejarah mencatat bahwa operasi Petrus yang dilancarkan oleh sindikat pemerintahan Orde Baru bermula di Yogya dan Jawa Tengah. 

Waktu itu Yogya menjadi salah satu daerah operasi pembunuhan banyak orang “tertuduh preman‘ atau para gali terkenal, tapi tanpa pengadilan dan pembuktian yang semestinya. Terapi kejut Pak Presiden waktu itu berhasil menyiutkan nyali para preman gali, tapi sekaligus menebar ancaman bagi warga negara. 

Menarik mengutip penjelasan Muhammad Najib Azca, peneliti di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM yang tersiar di beberapa media massa dalam dua pekan terakhir. Dikatakan, sejarah dan bibit-bibit preman di Yogya berawal dari kelompok massa satuan petugas (Satgas) partai politik pada masa Orde Baru yang banyak merekrut preman sebagai anggotanya untuk kepentingan politik. Hal itu bisa dilihat pada Golkar pada masa lalu yang menggunakan nama Satgas Pasukan Khusus Cakra, PPP dengan Gerakan Pemuda Kabah (GBK), dan PDI merekrut preman yang berbasis wilayah-wilayah di Yogya. 

Dalam perkembangannya, premanisme di Yogya kemudian berafiliasi dengan kelas-kelas sosial yang bisa dikategorisasi ke dalam kelompok-kelompok menurut basis mereka, mulai dari preman berbasis etnis, preman pasar, preman mahasiswa (yang biasanya dilakoni oleh mahasiswa DO), hingga preman siswa pelajar. Tak ayal, basis dan kelompok mereka berjejaring satu sama lain menurut jenjang dan pengalaman masing-masing. 

Di tengah fenomena pembiaran terhadap gejala patologi sosial yang berkelanjutan, bibit-bibit premanisme terus berkembang sejalan dengan ekslusivitas kota. Akhirnya premanisme, ataupun gembong-gembong kekerasan lainnya, yang “dipelihara‘ oleh negara akan menjadi bom waktu yang hanya menunggu diledakkan. Sebuah fakta di Jakarta yang terjadi akhir tahun 2012 menjadi salah satu indikator bagaimana modus operandi premanisme sangat mengancam keamanan dan perdamaian warga kota. 

Perdamaian Sipil

Saya melihat respon penduduk Yogya dengan membentangkan spanduk dan slogan mengecam premanisme adalah perspektif tindakan simbolik tentang perdamaian sipil. Peradamaian sipil dalam konteks Yogya bisa dipahami sebagai proses peacemaking yang ditunjukkan secara persisten untuk mendialogkan tragedi kekerasan dan teror yang mengancam rasa aman mereka sendiri. 

Rakyat Yogya ingin menjaga perdamaian sebagai bentuk self-defense terhadap aneka bentuk kekerasan (khususnya kekerasan masif) yang terjadi (sebagai tindakan) di luar kultur mereka, di tengah kelemahan dan ketidakhadiran negara dalam banyak kasus kekerasan yang terjadi di akar rumput. 

Namun wujud perdamaian sipil tidak bisa diidentifikasi secara serta merta dari bentuk spontanitas responsif terhadap masalah genting yang sedang terjadi dalam kehidupan mereka. Spontanitas-masif (misalnya dalam kasus respon terhadap Cebongan) bisa saja menjadi wujud nyata di tengah permisifitas masyakarat yang secara gamblang bisa ditelisik bahwa mereka mengalami semacam keterkejutan dan ketidakterdugaan atas kekerasan (shocking violence) yang terjadi. Bagi saya semua dinamika tersebut menjadi ambigu untuk dikategorisasikan sebagai perdamaian sipil. Karena persoalan perdamaian sebenarnya merupakan proses dinamis yang secara konsisten dialami dan sekaligus dipraktikkan secara bersama-sama dalam laku kehidupan mereka. Artinya, perdamaian positif bisa dilihat dengan ukuran-ukuran kultural masyarakat terhadap aneka ragam kekerasan yang terjadi di luar kasus Cebongan. Akhirnya proses peacemaking sebenarnya bisa diukur dari proses kualitatif ataupun kuantitatif dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.

Jika masyarakat Yogya masih permisif dengan fakta-fakta kekerasan di luar kasus Cebongan (misalnya penyerangan terhadap warga yang berbeda keyakinan ataupun kaum nimoritas, tawuran dalam skala lebih luas, atau bahkan kekerasan dalam pacaran), apa yang bisa kita simpulkan di balik respon masif terhadap kasus Cebongan berupa selebaran yang secara tersirat ataupun tersurat justru mengekslusi satu kelompok lain, kalau tidak boleh dikatakan sebagai bentuk kekerasan yang lain?

Mengikuti alur pikir PBB, secara teoritis peacemaking dipahami sebagai upaya mendialogkan beberapa pihak yang bermusuhan (preman dan warga Yogya) ke dalam kesepahaman dengan cara-cara damai (an action to bring hostile parties to agreement, essentially through such peaceful means) (PBB, 1992).

Dalam praktiknya di lapangan, peacemaking dijadikan sebagai upaya diplomatik yang dianiatkan untuk mengubah konflik kekerasan menjadi dialog nirkekerasan (to move a violent conflict into nonviolent dialogue). Selanjutnya, peacemaking bisa dilakukan melalui proses negosiasi, mediasi, konsolidasi dan arbitrasi (Johns Hopkins University, 2006). 

Namun di sisi lain, kita bisa memahami bahwa sikap rakyat Yogya yang ditunjukkan secara simbolik tersebut adalah sebentuk upaya awal yang coba mendekatkan diri kepada proses dialog, mediasi, dan konsolidasi, khususnya dalam internal masyarakat Yogya sendiri. Namun, slogan-slogan seperti itu, dan bahkan selebaran yang disampaikan langsung oleh Hamengkubuwono X, harus cepat-cepat dimediasi secara terbuka dengan menghadirkan kelompok-kelompok yang sedang dalam ketegangan dan perselisihan (dispute) agar tidak terlanjur atau dikhawatirkan menjadi provokasi. Artinya, rakyat Yogya dan pemerintah daerah sendiri jangan hanya bersembunyi di balik slogan dan spanduk yang mengutuk dan menolak segala bentuk premanisme di Yogya. 

Sebagai sebuah inisiai, saya sepakat dengan respon masyarakat Yogya sejauh ini. Artinya, mereka menunjukkan diri sebagai pihak yang ingin menjaga dan mempromosikan perdamaian, baik untuk warga sendiri ataupun pihak pendatang. Namun jika langkah mereka hanya selesai pada sebentuk slogan dan spanduk, saya khawatir tindakan ini tidak akan selesai dan terkesan tanggung, atau bahkan sekali lagi bisa dikatakan sebagai “provokasi‘ dengan media yang lebih halus. Proses rekonsiliasi dan dialog asertif yang terbuka tidak tercapai. Jika kekhawatiran ini terjadi, kecurigaan sosial dan prasangka yang menjurus kepada segregasi dan pengkotak-kotakan sosial pun akan terjadi. Apalagi jika semua itu adalah pekerjaan salah satu oknom (untuk memanfaatkan momentum misalnya), saya semakin ambigu untuk mendefinisikan sikap dan langkah perdamaian sipil kita ke depan nantinya.

Jika kecurigaan saya benar, saya sementara ini berhepotesis bahwa perdamaian sipil kita sebenarnya masih riskan dan ambigu. 

0 comments: