Friday, August 12, 2016

Dicari Kejujuran Seorang Penulis

Harıan Analisa, Kamis, 19 Mei 2016
Oleh: Anthony Limtan
[Foto Harian Analisa]
Pekan lalu, media sosial maupun kumunitas penulis Harian Analisa  di facebook ‘ramai’ memperbincangkan seorang penulis yang berstatus mahasiswa melakukan plagiat dalam beberapa tulisannya, termasuk di rubrik Opini. 

Penulis berinisial HKH, bisa dikatakan pemula dan rajin mengirimkan berbagai buah pikirannya, soal politik, ekonomi dan masalah sosial lainnya. Dan namanya juga sering mencuat di berbagai media terbitan lokal.

Namun, seperti pepatah mengatakan, sepandai-pandainya tupai melompat, akan jatuh juga. Seperti itulah nasib HKH yang namanya sempat mencuat di jajaran kaum intelek kampus dalam menyuguhkan buah pikirannya, kini berakhir dengan  sumpah serapah.

Kejadian seperti ini bukan hal baru lagi yang terjadi di bidang akademis maupun non akademis. Dalam dunia akademis, penjiplakan karya tulis, seperti makalah dan skripsi sudah jamak dilakukan. Kurangnya kesadaran etika dalam mengutip suatu pendapat, sebagian atau seluruhnya menyebabkan terjadinya plagiarisme di kalangan mahasiswa.

Ketika seorang plagiat diklarifikasi redaksi soal keaslian tulisannya, masih saja bisa berdalih dengan mengatakan bahwa dia hanya mengutipnya dari tulisan tertentu. Tapi, jelasnya sering  terjadi mengambil hampir seluruh tulisan milik orang lain dan tanpa menyebut sumbernya.

Di Harian Analisa, redaksi mengoleksi sejumlah nama yang telah dibubuhi tinta hitam. Itu artinya, kejadian ini bukan hal baru yang muncul ke permukaan. Seperti pernah diberitakan dalam media, mereka yang pernah melakukan plagiat bukan hanya mahasiswa tapi juga sudah merambah ke berbagai profesi disiplin ilmu, khususnya dunia akademik, seperti dosen, dekan, maupun orang yang memiliki gelar terhormat Doktor.

Informasi Teknologi

Pemicunya adalah internet. Perkembangan informasi teknologi yang progresif semakin memudahkan seseorang untuk melakukan pembajakan dan tindakan plagiarisme. Hanya dengan melakukan copy paste tulisan orang lain, ubah judul, ubah sedikit kalimat dalam paragraf, jadilah itu tulisan miliknya.  

Mudah sekali bukan ? Tapi berkat perkembangan teknologi yang dapat menelusuri originalitas sebuah tulisan, dan ribuan bahkan jutaan masyarakat pembaca sebagai juri, hal ini seharusnya membuat para plagiat berpikir ulang melakukan perbuatan tercela itu.

Berbagai masukan disampaikan pembaca ke redaksi, ada yang mengatakan, Analisa kecolongan sampai membiarkan seorang plagiat berkarya. Masukan yang lain, mengatakan, sebaiknya tulisan yang akan dimuat diuji dulu melalui sebuah website yang dapat memeriksa keaslian sebuah tulisan.

Kami sampaikan terima kasih atas semua masukan yang diberikan, tujuannya untuk mencegah terjadinya plagiarisme. Namun, kami sampaikan, bukan kami tidak tegas dalam hal plagiarisme bila tidak melakukan pengecekan kembali untuk setiap tulisan yang akan dimuat. Terlalu banyak hal yang lebih penting yang dapat kami kerjakan di meja redaksi daripada harus mencek satu persatu persatu keaslian sebuah tulisan. Ibarat belanja di super market, pengelola membiarkan pembeli mengambil sendiri  produk yang diinginkan tanpa harus dikuntit, diawasi agar tidak terjadi pencurian.

Namun bila konsumen kedapatan mencuri, tentu hukuman moralnya jauh lebih berat daripada sekadar mendapat sanksi fisik. 

Demikian juga plagiarisme. Bila selama ini nama seseorang itu begitu dikagumi karena buah pikiran yang dituangkan dalam tulisan begitu menarik perhatian. Namun ternyata tulisan itu adalah hasil plagiat, saya kira hukuman blacklist bagi penulis itu adalah hal biasa. Namun hal yang mampu meruntuhkan martabat seseorang itu justru hukuman sosial dari komunitas penulis, pembaca, lingkungan akademik. Kata orang, sanksinya biasalah itu, tapi malunya ini mau letak dimana?

Kesempatan seluas-luasnya yang diberikan Analisa untuk penulis pemula untuk menuangkan buah pikirnya, menjadi kado intimewa. Manfaatkanlah kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Bukan karena Harian ini kekurangan narasumber sehingga peluang ini diberikan juga kepada mahasiswa.Bukan!

Bisa saja Analisa membuat seleksi ketat seperti koran ternama nasional terbitan Jakarta hanya memberikan kesempatan pada para pakar berbagai disiplin ilmu, semisal dosen, praktisi hukum, pelaku bisnis dan berbabai strata profesi. Namun, terus terang, bila kebijakan ini kami terapkan, penulis pemula atau juga identik dengan mahasiswa akan kehilangan kesempatan belajar menjadi penulis handal.

Harian Analisa berkomitmen memberikan kesempatan itu bagi pemula tanpa mengedepankan status sosial yang dimiliki. Siapapun boleh berpendapat selagi apa yang dituliskan itu bermanfaat bagi banyak orang. Tentu redaksi memiliki kriteria tulisan yang diinginkan, semisal yang lagi hangat dibicarakan (up date).

Namun terlepas dari semua itu, hal yang paling penting adalah kejujuran diri seorang penulis. Kejujuran merupakan dasar untuk menegakkan kebenaran, termasuk menegakkan dan membangun kebenaran ilmiah.

Suatu kejujuran yang hakiki hanya diketahui secara pasti oleh dirinya sendiri, sedangkan orang lain hanya bisa mengetahui ekpresi dari kejujuran itu. Saya yakin, di antara kita pasti ada yang pernah melalukan plagiat, tapi karena takut akan Tuhan, masyarakat pembaca, hati nurani, maka perbuatan tercela itu tidak berlanjut.

Redaksi Analisa memberikan sanksi atas perbuatan plagiarisme, berupa mem-blacklist nama tersebut. Oleh karenanya, para penulis mari berani jujur pada diri sendiri. Jika karya Anda yang selama ini dikagumi pembaca namun pada akhirnya terkuak bahwasanya semua itu adalah palsu, tentu kekaguman itu akhirnya berbuah sumpah serapah.

Jika demikian, masihkah Anda mau melakukan plagiarisme?***


0 comments: