Monday, October 10, 2016

Kepada Adikku: Semakin Jauh, Hatiku Semakin Dekat

Selamat Ulang Tahun, Adikku Izza

Di kebun bareng adik-adikku...
Di tengah waktu terus mempersiapkan yang terbaik buat akhir studiku, rinduku kepada ibu, kamu dan keluarga sangat menggebu. Sesegera mungkin, ingin sangat aku ada di samping kalian, mendengarkan cerita dan pengalaman hidup selama ini kita berjauhan. Dan kamu sudah tumbuh dewasa, menjadi mahasiswi dengan beasiswa di salah satu Perguruan Tinggi terbaik. Semua ini adalah buah doa ibu, para guru dan perjuanganmu.

Aku menulis surat ini di tengah-tengah jeda di antara tumpukan buku untuk tesisku, di ruang perpustakaan kampusku. Perpustakaan, nama yang selalu akrab di antara kita, bukan? Di antara kakak kita dan saudara-saudara kita di rumah, perpus adalah warisan abadi. Karena keluarga kita tumbuh dari orang-orang yang suka membaca.

Adikku, aku tergerak harus menyelesaikan surat ini saat aku mendapatkan sebuah kabar tentang kejuaraan yang kamu menangi. Bukan soal kamu juara satu, dapat uang, lalu diucapkan selamat dan gempita di sekitarmu, atau apa-apa. Bukan. Senang, iya. Itu pasti dialami aku sebagai kakakmu. Tapi jauh ke depan, semua itu—kebahagiaan dan kesusahan di tengah perjalanan panjangmu ini—hanya ibarat penanda dan “catatan kaki” bagi lorong hidup yang kamu tempuh. Di situ, kamu harus diam, berefleksi, mengambil pelajaran dan bersyukur. Di tengah perjalananmu ada proses, ketekukan, kerja keras, istiqamah dan kesehajaan.

Adikku, tak ada batas untuk kreativitas. Allah memberikan kita akal, pikiran dan hati adalah agar kita berkarya buat agama, keluarga dan orang-orang di sekitar kita. Kamu harus tetap semangat dan optimis. Aku ingin selalu melihatmu tersenyum tegar, tumbuh jadi perempuan yang mempunyai prinsip dan memperjuangkan prinsipmu itu. Kamu mempunyai kemampuan, adikku. Kamu bebas mengembangkan keinginan dan cita-citamu untuk masa depanmu. Nikmati semua prosesmu dengan menyenangkan dan bersyukur kepada Allah. Karena semua itu adalah titipan dariNya.

Adikku, bekal ilmu dan pengetahuan yang kamu punya dari pesantren dan para kiai, jangalah sampai hilang. Kemampuan baca kitab kuning dan bahasa Arab tidak boleh luntur meski kamu belajar di jurusan umum. Seperti pernah aku bilang, kamu akan semakin hebat dan spesial di mata dosenmu dan teman-temanmu ketika kamu mampu menghadirkan referensi (bacaan) dari khazanah peradaban Islam klasik (bocoran: sangat-sangat sedikit dari dosen-doesenmu yang paham sumber-sumber dari kitab klasik). Sumber dan khazanah ilmu pengetahuan dari masa Nabi, masa-masa kejayaan Islam—khususnya yang sesuai dengan jurusanmu, tentang falsafah negara dan kewarganegaraan—sejak Abbasiyah hingga Ottoman ditambah kemampuanmu mengkomparasikan dengan sumber-sumber kontemporer berbahasa Inggris dari Barat akan membuatmu semakin kuat dan bukan “tong kosong”. Aku kakakmu ini yakin kamu akan lebih hebat dariku dan kakak-kakakmu yang lain. Terus asah dan kembangkan kemampuan dan bakatmu. Juga, harus dipegang: tetap tawadhu’.

Bagi orang macam kita, tumbuh dari keluarga pas-pasan dan miskin secara materi, tidak boleh merasa rendah diri. Kita diajarkan untuk tidak mundur atas prinsip dan kebenaran. Kita punya hati yang kaya, pikiran yang luas, keyakinan yang berlimpah dan kasih sayang yang tak terbatas. Kita tumbuh dari keluarga seperti itu, adikku. Insya Allah kamu akan memahaminya pelan-pelan.

Aku memang terbatas melihat perkembanganmu. Kamu kecil, aku di pesantren. Kamu remaja, aku di Jogja kuliah. Dan sampai kini aku semakin berjarak jauh dari keluarga. Aku pula yang memulai bagaimana cara memahami dan mengukur batas antar negara dan benua. Ternyata, semakin aku jauh, hatiku semakin dekat. Kalian di hati selamanya.

Adikku, tetap semangat, tersenyum selalu dan rendah hati ya. Kami menyayangimu, selalu...



0 comments: